Warsih Dirpan (Pengrajin Topi Bambu) “Sabar, Walau tak Pernah Cukup”

Warsih Dirpan (Pengrajin Topi Bambu)
“Sabar, Walau tak Pernah Cukup”

Kerajinan adalah buah tangan dari mereka yang rajin, tekun dibarengi kesabaran. Tapi dari hasil kerajinan yang mereka buat anehnya tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. Seperti halnya pengerajin cotom (topi) bambu, Dirpan dari Desa Mekargading, Blok Balai Desa, Kec. Sliyeg.
Dirpan telah bertahun-tahun menekuni usahanya ini. Namun hasilnya tidak pernah dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, walau pun untuk ukuran yang sangat sederhana. “Usaha ini hanya mendapatkan uang yang pas-pasan saja. Makanya untuk menutupi kebutuhan hidup saya harus cari sampingan lain,” ujarnya saat MH mengunjungi rumahnya.
Di Desa Mekargading, Kecamatan Sliyeg tepatnya Blok Balai Desa banyak tedapat pengrajin rumahan berbahan baku dari bambu, diantaranya pengrajin kurungan ayam atau burung, kipas tangan, cepon, topi bambu. Dirpan termasuk salah seorang dari para pengerajin itu. Namun seperti yang lainnya, usahanya memang tidak pernah mampu memberikan hasil yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Disela-sela kesibukannya mengecat topi bambu MH berkesempatan ngobrol dengan Dirpan. Menurutnya keahliannya membuat cotom bambu (ilmu) didapat dari orang tuanya, jadi ilmu itu bersifat turunan. Namun demikian, sebenarnya setiap orang bisa melakukan ini tanpa melihat faktor keturunan.
“Yang terpenting sabar karena dalam sehari hanya bisa merampungkan satu topi yang harganya Rp 35.000,00,” tuturnya. Dakui harga ini termasuk yang paling mahal dibanding pengarajin topi lain di desanya. Bayangkan, seandainya tidak sabar dan telaten waktu sehari akan terbuang percuma jika gagal dan pastinya akan merugi.
Bambu sebagai bahan bakunya di Indramayu tidak ada sehingga didatangkan dari gunung di daerah Cirebon atau Kuningan melelui penjual dan diantar dengan mobil truk. Proses awalnya adalah memotong bambu menjadi beberapa potong sesuai jenis ukuran, karena ada ukuran kecil, sedang, dan besar , kemudian dibelah menjadi tipis-tipis barulah dipola untuk dianyam.

MINTA PERHATIAN PEMERINTAH
Setelah berbentuk topi, agar tampilan menarik maka dicat dengan warna-warni dan gambar bentuk bunga, batik, ombak atau mengikuti trend. Walaupun topi bambu yang sebagian pemakainya adalah buruh tapi ada pula istilah trend atau yang lagi digemari saat ini. “Untuk saat ini topi yang paling laku yang berwarna hijau daun dengan warna-warni gambar bunga,” ujar bapak beranak lima sambil memainkan kuas di atas topi.
Dalam membuat topi, Dirpan hanya ditemani istrinya karena anak-anaknya kurang menyukai pekerjaan tersebut. Untuk musim tanam dan musim panen permintaan topi meningkat sehingga tidak diimbangi dengan stok yang ada. Menyiasati hal tersebut ia membeli topi yang sudah jadi sehingga tinggal dicat dan dilukis saja, karena urusan mempoles dan melukis Dirpan dianggap senior dan yang terbaik di antara pengrajin lainnya.
“Dalam sebulan rata-rata mampu menjual dua puluh kodi atau sekitar dua ratus topi dengan harga satuan Rp 40.000,00 untuk pembeli umum dan Rp 35.000,00 untuk bakul. Mengandalkan dari hasil membuat topi tidaklah cukup untuk biaya sekolah anak, makan sehari-hari, dan keperluan lainnya, makanya selain pengrajin saya juga bertani, membuka warung, dan kadang berkesenian juga,” terang Dirpan yang pernah menjadi dalang sandiwara dan MC organ tunggal.
Diungkapkan, dulu pernah ada batuan dari pemerintah yaitu Inpres Desa Tertinggal (IDT) tapi sekarang tidak ada lagi. Kebutuhan hidup yang meningkat dengan harga sembako yang mahal, minimnya modal apalagi antara penghasilan dengan modal tidak berimbang membuat usahanya kembang-kempis.
“Saya berharap Pemerintah Desa khususnya bisa mendatangkan tenaga ahli untuk mendidik warga dengan jenis kerajinan yang lain sehingga ada peningkatan dan variasi hasil produksi, serta mengupayakan, dan membantu penjualan hasil kerajinan sehingga bisa keluar Indramayu dan menembus pangsa pasar yang luas,” harap Dirpan.(imam)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama